Rabu, 03 Agustus 2011

Backpaking N Sharing di Cipatujah: Bertemu Anak-anak Yang Luar Biasa (Part-2)

Kegiatan bersama anak-anak di Puncak Jaya diawali dengan proses identifikasi kebutuhan tema-tema yang ingin dipelajari anak-anak. Hasilnya sangat mengejutkan. Anak-anak yang bermata cemerlang ini ingin belajar lebih jauh tentang organisasi, cara belajar yang baik, gambaran pendidikan di Bandung itu seperti apa, bagaimana menguatkan motivasi, terutama motivasi untuk tetap bertahan melanjutkan sekolah, kepemimpinan, solidaritas, dan kenegaraan. Tema-tema itu mencerminkan betapa dekatnya mereka dengan aktivitas gerakan sosial. Hal ini dapat dimengerti karena mereka juga adlaah bagian dari anggota gerakan Serikat petani Pasundan. Organisasi petani yang sudah lama berjuang untuk mempertahankan hak-hak mereka atas tanah tempat tinggalnya.

Anak-anak dari Bandung (sekarang sudah menjadi grup Lensa Remaja) mendapatkan kontras kenyataan yang pertama. Bagaimanapun topic-topik yang diidentifikasi anak-anak Pucak Jaya relative jauh dari keseharian Zahra dan kawan-kawannya. Disepakati malam itu kami bersama-sama akan belajar tentang motivasi, pendiidkna di Bandung, dan organisasi. Seperti sudah dirancang sebelumnya, Azmi mendapat kesempatan pertama untuk sharing tentang cara belajar dan model pendidikan yang didapatkannya di Bandung. Azmi sempat berbagi tentang teknik belajar menggunakan jembatan keledai, yaitu menghafal sumusan tertentu dari satu materi pelajaran dengan cara menguntainya menjadi kalimat yang menarik, bahkan kadang lucu. Sayang saya tidak bisa mengingat dengan jelas bentuk kalimatnya (maklum dah lewat masa-masa seperti itu..ha..ha..).

Anak-anak cepat beradaptasi. Ketegangan yang sempat muncul sebelum acara dimulai perlahan luntur. Tetapi anak-anak bleum bisa langsung berbaur dengan teman sebayanya. Ada gesture yang masih kurang saya pahami untuk membuat mereka lebih “melted” dengan situasi.

Saya berusaha membangun dinamika kelompok yang dapat mendorong mereka lebih cair dan berbaur lebih alamian dengan teman sebayanya. Beberapa games diberikan sekaligus menjaid pengantar untuk tema-tema solidaritas, motivasi, dan organisasi. Anak-anak bermain dalam grup yang berbeda dan beraktivitas bersama dalam keriangan. Malam itu, diakhiri dengan senyum dan suasana yang lebih cair. Zahra menutup malam itu dengan perenungan betapa jauh kondisi dan alam pikiran teman-temannya. Gumaman komentarnya masih terngiang, “ Gak nyangka ya.. kita mah sibuk dengan berbagai keinginan yang sebenarnya gak penting, eh mereka (anak-anak Puncak Jaya) justru harus berhadapan dengan masalah yang besar. Aku jadi malu”

Saya diam-diam berharap pernyataan itu adalah refleksi dari pengalaman hari ini yang akan memberikan nilai tertentu pada kepribadiannya. Malam itu saya tidur lelap diiringi sayup debur ombak jauh di kaki bukit dan kesejukan angin yang menelisik dari celah-celah dinding dan lantai rumah penduduk Puncak Jaya. Saya merasa tengah berenang dalam lautan cinta yang diberikan Allah hari ini.

9 Juli 2010, Kegiatan Hari Kedua di Puncak Jaya
Pagi ini saya dibangunkan dengan rasa kaget karena ada yang meniup-niup punggung cukup keras. Sempat terpikir betapa kurang ajarnya orang yang melakukan perbuatan itu Sangat tidak sopan. Tetapi ketika mata terbuka, ternyata yang meniup-niup itu adalah angin subuh yang masuk dengan kencang dari sela-sela lantai papan tempat kami tidur. Syukurlah…

Hari kedua ini saya mengubah metode. Kalau semalam anak-anak Bandung yang lebih banyak aktif, maka pagi ini adlah kesempatan bagi anak-anak Puncak Jaya untuk ambil peran lebih banyak.

Maka setengah hari forum diserahkan pada mereka. Kami kemudian larut dalam kegembiraan bermain bersama mereka. Kami bermain di dalam dan di luar ruangan. Tanpa disadari tema-tema yang ingin dipelajari anak-anak tersampaikan dam permainan-permainan ini. Dalam permainan anak-anak bisa lebih berbaur lagi. Kegiatan hari itu ditutup dengan membuat karya bersama sebagai ekspresi atas seluruh moment pertemuan ini. Anak-anak diminta untuk menunagkan gagasan dan kreativitasnya dalam sebuh poster. Inilah hasilnya:







Selamat Tinggal Puncak Jaya.. Sampai Bertemu Lagi
Membuat poster adalah kegiatan terakhir… Selesai sudah kegiatan dua hari ini. Ada yang masih tertinggal karena tugas ini terasa belumlah tuntas… Binar mata kemilau, tawa lepas, dan ekspresi yang bebas justru mengikatku pada mereka. Potensi besar ini tersembunyi di balik gunung dan bukit-bukit yang mengitari tempat tinggal mereka. Potensi besar ini masih harus diasah disentuh dan dipertemukan dengan peradaban lain di ujung rimbunan pohon-pohon jati. Tempat yang begitu tersembunyi ini hanya bisa ditempuh dengan kesungguhan dan segala pengorbanan. Bahkan harap saja hanya mungkin dilarung dalam gemuruh ombak jauh di bawah bukit. Ketiadaan ini justru menambatku… dan akan membuatku kembali. Bagaimana mungkin berpaling dari bocah-bocah berbau embun yang penuh harap. Semoga ada pertemuan di satu waktu nanti.

14.00 Menuju Pameungpeuk
Perjalanan berikutnya adalah Pantai Pameungpeuk, Garut. Menuruni kembali bukit terja betul-betul satu perjuangan berat. Saya harus menyerahkan “nasib” kepada pak sopir colt bak yang akan membawa kami ke perhentian terakhir, yaitu Pantai Pameungpeuk, Garut. Di atas colt bak, satu-satunya kendaraan yang bisa membawa kami ke Pantai, kami menelusuri jalanan berliku dna terjal di tengah perkebunan karet yang maha luas. Terguncang di belakang colt bak, terbakar matahari, di jalanan berangin penuh debu menjadi sensasi tersendiri. Saya sangat menikmati setiap jengkal pergerakan. Zahra iseng bertanya:” Mam, berani gak naik colt bak gini di Bandung?”.. Ha..ha..ha… pertanyaan yang sangat menggelitik dan membangunkan aku pada realitas-realitas yang berbatas waktu dan wilayah… spontan saya menjawab “ tidak… karena pasti ditangkap polisi:.. ha..ha..ha… Seperti biasa, Ali tidak pernah kehilangan yang tidak pernah energinya menebar keriangan.

Ah. Pantai selalu membuatku merasa lebih tenang.. semua gelisah yang membuncah di dada selalu hilang dalam deburan ombak. Selalu… sangat melegakan. Di sinilah kami mengakhiri kegiatan dari seluruh perjalanan ini.

EVALUASI….
Untuk menanamkan tradisi refleksi, saya mengajak anak-anak melakukan evaluasi kegiatan sambil nonton film Surat Kecil untuk Tuhan. Tentu saja anak-anak bersemangat. Siapa sih yang gak seneng diajak nonton. Selalu unsur fun masuk dalam setiap kegiatan. Kami melakukan evaluasi sebelum film dimulai. Berelesehan di depan teater lumayan juga. Kesimpulan dari evaluasi:
1. Semua anak mendapatkan pelajaran berharga, terutama berkaitan dengan keadaan masing-masing. Semua merasa berada dalam kondisi yang jauh lebih baik dan sudah merasa “wasting time” dengan segala keluh kesah.
2. Semua anak sepakat untuk lebih fokus pada apa yang ingin dikejar dalam hidupnya.
3. Semua sepakat untuk benar-benar melatih diri agar bisa berinteraksi lebih baik. Anak-anak minta dibekali berbagai keterampilan untuk berinteraksi.
4. Semua sepakat untuk membangun kelompok yang lebih besar dan ada pertemuan rutin.

Rasanya tidak ada lagi yang perlu saya simpulkan selain rasa syukur bahwa anak-anak sudah belajar tentang sesuatu yang sangat penting untuk hidupnya kelak. Semoga.

Sabtu, 16 Juli 2011

Backpaking N Sharing di Cipatujah: Bertemu Anak-anak Yang Luar Biasa (Part-1)

Menutup liburan tahun ajaran baru ini, kami melakukan kegiatan yang berbeda dari biasanya. Kami melakukan perjalanan ke pedalaman Tasik-Garut. Perjalanan ini berawal dari tawaran pak Aripin, litbang di SD Hikmah Teladan sekaligus kawan diskusi tentang sistem pendidikan alternatif. Maklum kami sama-sama gelisah dengan sistem pendidikan yang ada di Negara ini. Pak Aripin meminta saya mendampingi anak-anak untuk melakukan kegiatan mengisi liburan dengan cara berbeda, yaitu mengajak anak-anak untuk sharing bersama teman sebayanya di pedalaman tasik-Garut sambil piknik ke pantai. Pa Aripin berharap anak-anaknya dilatih memiliki kepedulian sosial. Ide ini bersambut. Saya juga kerap membawa anak-anak saya dalam pekerjaan saya membantu orang-orang kurang beruntung melakukan perubahan. Hampir tanpa pertimbangan apapun ajakan itu saya terima. Saya sampaikan ide pa Aripin kepada anak saya, Zahra dan Naufal. Zahra tertarik ikut, tetapi Naufal tidak.

Buat Zahra, perjalanan ini akan menjadi “us time” waktu bersama bagi saya dan Zahra. Hanya kami berdua, semacam “ladies time”. Biasanya momen ini kami isi nonton, beli buku, atau sekedar makan di tempat yang dipilih Zahra. Ini adalah waktu untuk membangun pemahaman yang lebih dalam satu sama lain. Sebagai orang tua, model ini efektif untuk berkomunikasi tentang hal-hal yang cukup sensitive. Selain itu, tantangannya terlalu menarik untuk ditinggalkan. Buat saya sendiri, secara personal, perjalanan ini menjadi waktu untuk “escape” dari rutinitas dan beban yang belakangan makin menghimpit. I need some fresh air to breath, space for reflection, distance to understand and new energy to recharge.

Jadilah Zahra, Adry, Azmi, dan Vikri berkumpul untuk mulai diskusikan rencana kegiatan. Mereka sepakat untuk mengajak temannya yang lain agar lebih rame. Kegiatan pertama adalah diskusi dengan Ibu Ninuk seputar masalah-masalah yang dihadapi remaja. Ada tiga anak yang ikut bergabung, yaitu Widi, Puput, dan Tika. Diskusi ini menjadi pengantar pada pengenalan diri anak-anak. Pertemuan kedua, mendiskusikan rencana kegiatan sharing di Tasik. Ternyata Widi, Puput, dan Tika tidak terlalu tertarik dengan kegiatan ini. Akhirnya hanya berempat yang meneruskan diskusi perencanaan perjalanan.

Anak-anak sempat bingung karena belum ada informasi yang utuh tentang kebutuhan anak-anak di sana. Saya juga blank, yang bisa saya lakukan adalah mendorong anak-anak untuk mencari alternative kegiatan dan memastikan kegiatan yang dipilih bisa dikelola. Anak-anak memilih tema sharing tentang makna pendidikan bagi mereka, persiapan UN, dan cita-cita. Masing-masing berbagi tugas dan peran. Persiapan dianggap beres. Tinggal berangkat. Informasi yang minim dalam banyak hal termasuk soal teknis pemberangkatan mendorong saya untuk mengajak anak-anak berada dalam mental backpacking alias travelling ala ransel. Inisiatif ini pas, karena ternyata kami memang harus backpacking.

The Journey….
7 Juli 2011, 16.00
Perjalanan dimulai. Setelah berputar-putar di Cimahi Mall cari souvenir untuk anak-anak di lokasi kegiatan, kami naik bis Budiman jurusan Tasik. Perjalanan ke Tasik ditempuh sekitar 3-4 jam. Rencana akan ribut di bis tidak terjadi, kelihatannya anak-anak masih saling menyesuaikan diri. Tepat pukul 21.00 kami tiba di terminal Tasik. Adik Pak Aripin kemudian menjemput kami. Di Tasik, kami menginap di rumah mertuanya Pak Aripin. Perjalanan malam itu diakhiri dengan diskusi bersama Kang Usep dan Kang Alex tentang situasi di lokasi dan gambaran umum anak-anak yang akan terlibat dalam kegiatan besok. Akang-akang inilah yang menjadi pendamping warga di lokasi kegiatan. Catatan diskusinya, pertama, dari sisi lokasi, kami dipastikan akan berkunjung ke sebuah tempat di Cipatujah. Desa yang akan kami kunjungi merupakan wilayah yang relative baru berkembang. Tempat ini menjadi bagian dari wilayah dampingan Serikat Petani Pasundan. Artinya, bisa dipastikan mereka berada di wilayah konflik atau bekas konflik. Di desa tersebut tengah dibangun sekolah, karena sekolah terdekat yang difasilitasi pemerintah letaknya sekitar 10-20 km dari Desa. Bisa dibayangkan anak-anak harus menempuh jarak begitu jauh setiap hari untuk sekolah. Perintisan sekolah menjadi alternative yang tepat bagi mereka untuk mendekatkan akses anak-anak pada pelayanan pendidikan. Lokasi desa berada di puncak bukit. Jalan menuju ke sana tentu tidak beraspal dan lumayan curam. “Matak jantungan bu…” begitu komentar Kang Usep. Jalan itu hanya bisa dilalui motor dan colt bak terbuka! Saya mulai agak worry sekaligus penasaran. Kami akan menginap di rumah warga. Ini tentunya akan menjadi pengalaman yang luar biasa bagi anak-anak. Terutama bagi Zahra yang sangat jarang menginap di tempat lain. Anak-anak akan mendapat pengalaman langsung berada di desa.

Kedua, kegiatan bersama anak-anak akan diikuti pula oleh anak-anak dari SMP Darul Hikmah yang sudah dirintis terlebih dahulu oleh para guru SD Hikmah Teladan di bawah komando pak Aripin. Menurut analisis Kang Usep dan Kang Alex, anak-anak di lokasi tengah berada dalam dinamika social yang cukup membuat mereka bingung. Belakangan mereka kehilangan motivasi dan kreatifitas karena dukungan social bagi mereka melemah. Mereka butuh dukungan untuk membangkitkan kembali semangat dan kreativitasnya. Jelas ini kebutuhan yang kompleks yang tidak bisa dipenuhi dengan kegiatan sederhana yang direncanakan secara sepihak oleh saya dan anak-anak di Bandung. Harus ada revisi.

Kebutuhan revisi kegiatan saya sampaikan pada anak-anak. Zahra, Adry, Azmi, dan Vikri mulai merasa sedikit nervous, terutama setelah saya pancing mereka dengan pertanyaan, “ apa yang kalian share jika teman-teman di lokasi nanti bertanya tentang pola belajar kalian?”
Sontak semua tersentak karena ternyata sama-sama merasa tidak punya pola khusus. Bahkan nyaris ga pernah belajar secara khusus. Terlihat ada garis kecemasan pada anak-anak.
“Kita jawab apa ya… kan gak pernah belajar…!”
“Satu hal, jangan bohong dan jangan mematahkan semangat ya”, saya ingatkan kepada anak-anak. Semoga kegelisahan yang dirasakan anak-anak menjadi pelajaran pertama bagi mereka.

Malam itu saya tidur dalam gelisah karena telah melakukan kesalahan besar dengan membuat rencana kegiatan tanpa mempelajari dahulu kondisi dan kebutuhan klien, dalam hal ini anak-anak di lokasi pertemuan. Saya khawatir apa yang kami rencanakan bukan hanya tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka tetapi juga tidak tepat! Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Beberapa ide yang kemudian muncul bisa sedikit menenangkan. Saya tertidur dengan mimpi agak absurd. Mungkin benar juga komentar sahabat saya untuk tidak terlalu serius terhadap banyak hal… he..he…

8 Juli 2011
Terbangun pagi di tempat yang belum sepenuhnya dikenali memunculkan sensasi aneh. Tapi hanya sesaat. Kehangatan tuan rumah mengusir kejenggahan. Kang Usep dan Kang Alex sudah datang. Saya ditawari pak Aripin ikut dengan Kang Usep dan Kang Alex supaya bisa ngobrol lebih banyak. Eh anak-anak juga ikut. Akhirnya kami berangkat ke lokasi menggunakan mobil Kang Usep yang istimewa, Azmi menyebutnya Alphard tong tong. Tujuan kami adalah Taraju. Di mana lokasinya, entahlah. Saya pasrah ketika kami harus melewati jalan berkelok dengan tanjakan yang lumayan. Beberapa kali saya merasa ada yang aneh dengan mobil ini, tapi saya tekan perasaan itu. Kang Usep teman perjalanan yang seruu, selalu berupaya menciptakan keceriaan bagi anak-anak. Sayang usaha Kang Usep tidak berhasil. Anak-anak membisu di sepanjang perjalanan. Saya menduga mereka tegang membayangkan situasi nanti. Jalan berkelok dengan tikungan tajam juga memberi kontribusi besar pada kebisuan mereka. Beberapa kali dicoba main tebak-tebakan untuk mencairkan suasana, tapi tidak terlalu berhasil. Saya menyerah membiarkan anak-anak dalam kebisuan masing-masing.

Perjalanan Tasik-Taraju memakan waktu sekitar empat jam. Informasi awal rutenya bisa ditempuh dalam dua jam saja. Hmmm….mungkin dua jam itu ditempuh dengan kendaraan lain atau dua jam versi perjalanan ini harus dikali 2..he..he.. Tepat menjelang Dzuhur kami tiba di pantai Taraju. Pantai yang indah, masih belum terjamah sistem pariwisata yang kerap membuat alam tercerabut dari kondisi alamiahnya. Pantai memberikan energi baru bagi anak-anak juga kita semua. Setelah memarkirkan Alphard Tong-tong, kami berhamburan ke pinggir pantai. Belakangan saya baru tahu kalau mobil hebat ini memang bermasalah, remnya nyaris blong!

Melihat pantai, snak-anak kembali ceria. Kamera dipenuhi berbagai gaya mareka. Narsis abis seperti biasanya ha..ha…ha…. Ini ekspresi yang paling saya suka:
Pantai selalu mempunyai makna khusus buatku, pantai memberikan energy pembersihan. Ombak yang datang dengan kekuatannya akan membawa apapun yang singgah di tepi pantai untuk dibawa pada pusaran inti energi jauh di bawah laut. Di pantai Cipatujah ini, aku larungkan segala gelisah.

Ah, semoga benarlah adanya perjalanan ini akan menjadi pendakian spiritual seperti yang d isms-kan seorang sahabat lama di Tasik. Semoga pendakian ini akan berakhir pada kemurnian penyerahan diri hanya pada Allah. Panti, pasir, ombak, menjadi terlalu besar untuk resah yang ternyata tidak terlalu penting dipelihara. Dan pastinya Allah lebih besar lagi dari beban yang sejenak hadir pada hari-hariku belakangan ini. Perasaan lega diam-diam menyelinap.

Inilah Tim inti yang Jibaku Backpaking ke Desa Puncak Jaya di Cipatujah-Tasik.....

Next Trip on 13. 00, Pantai Cipatujah-Desa Puncak Jaya: Menuju Negeri di Atas Awan

Setelah selesai shalat Jum’at kami menuju Desa Puncak Jaya. Dari namanya kita bisa menduga posisinya memang ada di puncak bukit. Perjalanan menuju desa perlu perjuangan tersendiri. Kami naik colt back, satu-satunya angkutan yang bisa mencapai desa itu selain motor. Sangat-sangat dibutuhkan keterampilan khusus untuk menyusuri jalan menuju Desa Puncak Jaya. Jalur yang sempit, tanjakan hampir mencapai 45 derajat (mungkin ini perkiraan yang lebay saking curamnya..he..he…), belokan curam, jalan bergelombang, bahkan batu-batu penahan jalan kerap lepas, menambah tegang perjalanan.Lihat deh medannya di foto ini Saya betul-betul mengerahkan semua doa yang bisa diingat… herannya anak-anak justru semangat. Saya betul-betul panik ketika mobil berjalan tersendat dan sempat sedikit mundur di tanjakan. Pak sopir harus dipandu. Seseorang turun untuk memastikan ban tidak slip. Rasa lega tak terkira ketika mobil bisa berjalan kembali. Kecemasan menadaki jalan, berlalu dan kami mendapatkan hadiah yang luar biasa berupa pemandangan yang sangat indah. Laut seolah menjadi back drop raksasa yang melatari perjalanan kami ke puncak bukit. as colt bak yang kami tumpangi.

Perjalanan berakhir di depan sebuah rumah panggung di tengah halaman yang cukup luas. Pohon rambutan yang bernas berbuah menjadi hiasan menarik di antara tanah kering di sekitarnya. Rumah ini menjadi tempat istirahat yang pas setelah menempuh perjalanan yang menyeramkan. Warga di Desa Puncak Jaya sudah menunggu kami dan mempersiapkan kebutuhan kami, terutama konsumsi …... . Pa Aripin, Bu Hani dan Ali datang menyusul dan membawa berita terjatuh di tanjakan bawah. Motornya tidak bisa naik. Alhamdulillah tidak ada yang terluka. Ibu Hani salah satu jarinya bengkak, tetapi bisa di atasi. Yang ajaib, Ali, dia datang membawa keriangan tersendiri. Perjalanan yang rumit dan berbahaya ini sepertinya dianggap permainan saja. Hebaaat. Segera saja Ali menjadi pavorit boy buat Zahra dan saya tentunya…He is the real energizer! Here is Ali with the adorable smile...


15.00-18.00,
Kegiatan Pertama: Identifikasi Kebutuhan Dan Dinamika Kelompok

Anak-anak yang akan ikut kegiatan sharing menyusul tak lama setelah kami tiba. Adry, Azmi, Vikri dan Zahra masih merasa canggung dan nervous. Azmi yang agak gugup sempat menawar untuk tidak bicara pertama. Ha..ha..ha..tentu saja tidak ada yang mau bertukar tempat dengan Azmi. Kami brifing sekalli lagi dengan Kang Usep untuk memastikan tahapan kegiatan yang akan dilakukan juga untuk menyemangati Azmi. Intinya, kami akan mencoba mengidentifikasi kebutuhan topik yang akan didiskusikan, membangun dinamika kelompok, dan ekspresi bersama sebagai kesimpulan kegiatan. Semua akan dilakukan sambil bermain disela diskusi di antara anak-anak sendiri. Kang Usep sepakat.

Ada sekitar 30 anak laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam kegiatan ini. Rentang usia mereka cukup lebar antara 12 tahun sampai 18 tahun. Mulai dari anak-anak yang baru lulus SD hingga yang sudah lulus SMA. Ini menjadi tantangan tersendiri karena rentang perbedaan umur yang cukup lebar mempengaruhi dinamika kegitan. Saya mengambil keputusan untuk menggabungkan saja dulu semua anak, paling tidak di tahap perkenalan, kontrak belajar, dan identifikasi topik yang ingin didiskusikan. Kegiatan berikutnya merupakan eksplorasi pengalaman yang sangat luar biasa.... tapi nanti yaa....(bersambung )

Senin, 21 Februari 2011

Selamat Jalan Bapak (Catatan Kenangan untuk Ayah Mertuaku)

Sosok ini aku kenal baru sekitar 16 tahun yang lalu ketika aku menyatakan bersedia membangun komitmen seumur hidup dengan seorang laki-laki yang kini menjadi suamiku, ayah dari anak-anakku. Laki-laki ini adalah ayah dari suamiku. Seorang lelaki tegar dan sederhana. Garis wajahnya mengguratkan kerasnya perjuangan dalam perjalanan hidupnya mengantarkan anak-anaknya dalam pencapaian maksimal sesuia kapasitasnya masing-masing. Lelaki ini begitu percaya bila pendidikan adalah modal nomor satu yang akan membekali anak-anak dan generasi muda dapat survive dalam hidupnya. Poerwo Widodo, atau Pak Poer begitu para murid, sahabat, kerabat, tetangga, dan keluarga besar memanggilnya. Eyang kakung, kami menantu dan cucunya memanggil beliau.

Hari ini, Pak Poer, Eyang Kakung kami menghembuskan nafas terakhir pada jam 5 pagi. Lelaki kurus dan tinggi ini "menyerah" setelah berusaha bertahan melawan segala penyakit yang menyerang tubuhnya. Hari ini dalam kepasrahan beliau menghadap Sang Penciptanya. Kedamaian terpancar pada paras wajah yang terbujur kaku. Allohummaghfirlahu warhamhu wa affihi wa fuanhu waj'alil jannata maswahu.. sebaris doa itu yang mampu aku ingat dan aku baca sejak pertama mendengar kabar duka ini. Untuk terakhir kali doa itu aku panjatkan saat kain kafan pembungkus tubuh tirus ini dibuka untuk terakhir kali.

Hal yang baru aku sadari sekarang saat tubuh kurus itu terbujur kaku, betapa selama ini Bapa berusaha mandiri, melakukan semuanya sendiri karena tidak ingin merepotkan kami. Sayang kami anak-anak dan mantunya sering tidak paham dengan apa yang dilakukan Bapa. ketika bapak melakukan sesuatu sendiri kami sering mengeluhkannya. Padahal sekarang kami baru mengerti semua itu bapa lakukan karena bapa tidak ingin merepotkan kami. Namun, kami yang tidak peka menjadi bebal dan sering jadi repot sendiri sehingga akhirnya beliau juga ikut repot. Sekarang baru semuanya dimengerti. Bapa sebenarnya telah mengajarkan inti dari strategi survival, yaitu kemandirian.

Ada yang tercuri dari jiwaku saat melihat wajah putih membujur kaku. Betul kata ayahku dalam tausiahnya, tidak ada yang bisa kita bawa saat menghadap Sang Khalik selain harta yang disedekahkan, ilmu yang diamalkan, dan anak-anak sholeh yang mendoakan kita. Hatiku tergores..perih.. ketika menyadari tak satupun dari ketiganya bisa kami penuhi. Kami bukan orang kaya, jadi sedekahpun masih terbatas. Kami masih belajar belum bisa tuntas mengamalkan ilmu, dan apakah kami termasuk anak-anak yang sholeh yang bisa menjadi harta berharga bagi orang tua dengan aliran doa keselamatan bagi mereka? Aku terpuruk di sudut sepi... jauh..jauh sekali dari ketiganya. Sedikit harap hanyalah bahwa kami berusaha.. terus berusaha untuk menjadi harta berharga bagi orang tua. Semoga Allah memberikan kekuatan pada kami untuk mencapainya agar kami bisa mengalirkan doa keselamatan bagi kedua orang tua kami.

Selamat jalan Bapa.. cintamu selalu hadir dalam perjalanan kami. Semoga cinta pula yang Bapa bawa saat menghadap Sang Khalik. Sekalipun kami tidak hadir saat detik terakhir, kami yakin Bapa sudah tahu kami akan datang menjemput cintamu. Maafkan segala kesalahan kami selama ini yang terlalu sibuk dengan pikiran sendiri, yang sering mengabaikanmu, yang lebih banyak menuntutmu untuk ini dan itu tanpa mempertimbangkan kepentinganmu. Kami telah belajar dari kehilangan ini untuk memperbaiki diri dan menjaga ibu dengan lebih baik. Bapa, hari ini dan setiap hari berikutnya dalam doaku ditambah satu pengharapan besar agar kami bisa merawat cinta dalam ketakwaan kepada Allah dan agar kami diberi kemampuan untuk dapat menjadi hartamu yang paling berharga, yaitu menjadi anak yang sholeh yang dapat mengalirkan doa keselamatan bagimu selamanya. Selamat jalan Bapa, cintamu memberikan keikhlasan kepada kami untuk menerima segala tiba, melepasmu dengan rela dan selalu mendoakanmu.Semoga.

Kepada semua sahabat, kerabat, tetangga, dan kenalan bapak, mohon agar memaafkan segala kesalahan dan kehilafan yang pernah beliau lakukan. Semoga segala amal beliau diterima Allah. Kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan bagi beliau kami ucapkan terima kasih. Semoga kebaikan ini mendatangkan pahala bagi kita semua. Amiiin.

Surabaya, 5 Februari 2011

Untuk Ayah, Mertua, Eyang Kakung kami tercinta, Bapa Purwo Widodo