Sabtu, 16 Juli 2011

Backpaking N Sharing di Cipatujah: Bertemu Anak-anak Yang Luar Biasa (Part-1)

Menutup liburan tahun ajaran baru ini, kami melakukan kegiatan yang berbeda dari biasanya. Kami melakukan perjalanan ke pedalaman Tasik-Garut. Perjalanan ini berawal dari tawaran pak Aripin, litbang di SD Hikmah Teladan sekaligus kawan diskusi tentang sistem pendidikan alternatif. Maklum kami sama-sama gelisah dengan sistem pendidikan yang ada di Negara ini. Pak Aripin meminta saya mendampingi anak-anak untuk melakukan kegiatan mengisi liburan dengan cara berbeda, yaitu mengajak anak-anak untuk sharing bersama teman sebayanya di pedalaman tasik-Garut sambil piknik ke pantai. Pa Aripin berharap anak-anaknya dilatih memiliki kepedulian sosial. Ide ini bersambut. Saya juga kerap membawa anak-anak saya dalam pekerjaan saya membantu orang-orang kurang beruntung melakukan perubahan. Hampir tanpa pertimbangan apapun ajakan itu saya terima. Saya sampaikan ide pa Aripin kepada anak saya, Zahra dan Naufal. Zahra tertarik ikut, tetapi Naufal tidak.

Buat Zahra, perjalanan ini akan menjadi “us time” waktu bersama bagi saya dan Zahra. Hanya kami berdua, semacam “ladies time”. Biasanya momen ini kami isi nonton, beli buku, atau sekedar makan di tempat yang dipilih Zahra. Ini adalah waktu untuk membangun pemahaman yang lebih dalam satu sama lain. Sebagai orang tua, model ini efektif untuk berkomunikasi tentang hal-hal yang cukup sensitive. Selain itu, tantangannya terlalu menarik untuk ditinggalkan. Buat saya sendiri, secara personal, perjalanan ini menjadi waktu untuk “escape” dari rutinitas dan beban yang belakangan makin menghimpit. I need some fresh air to breath, space for reflection, distance to understand and new energy to recharge.

Jadilah Zahra, Adry, Azmi, dan Vikri berkumpul untuk mulai diskusikan rencana kegiatan. Mereka sepakat untuk mengajak temannya yang lain agar lebih rame. Kegiatan pertama adalah diskusi dengan Ibu Ninuk seputar masalah-masalah yang dihadapi remaja. Ada tiga anak yang ikut bergabung, yaitu Widi, Puput, dan Tika. Diskusi ini menjadi pengantar pada pengenalan diri anak-anak. Pertemuan kedua, mendiskusikan rencana kegiatan sharing di Tasik. Ternyata Widi, Puput, dan Tika tidak terlalu tertarik dengan kegiatan ini. Akhirnya hanya berempat yang meneruskan diskusi perencanaan perjalanan.

Anak-anak sempat bingung karena belum ada informasi yang utuh tentang kebutuhan anak-anak di sana. Saya juga blank, yang bisa saya lakukan adalah mendorong anak-anak untuk mencari alternative kegiatan dan memastikan kegiatan yang dipilih bisa dikelola. Anak-anak memilih tema sharing tentang makna pendidikan bagi mereka, persiapan UN, dan cita-cita. Masing-masing berbagi tugas dan peran. Persiapan dianggap beres. Tinggal berangkat. Informasi yang minim dalam banyak hal termasuk soal teknis pemberangkatan mendorong saya untuk mengajak anak-anak berada dalam mental backpacking alias travelling ala ransel. Inisiatif ini pas, karena ternyata kami memang harus backpacking.

The Journey….
7 Juli 2011, 16.00
Perjalanan dimulai. Setelah berputar-putar di Cimahi Mall cari souvenir untuk anak-anak di lokasi kegiatan, kami naik bis Budiman jurusan Tasik. Perjalanan ke Tasik ditempuh sekitar 3-4 jam. Rencana akan ribut di bis tidak terjadi, kelihatannya anak-anak masih saling menyesuaikan diri. Tepat pukul 21.00 kami tiba di terminal Tasik. Adik Pak Aripin kemudian menjemput kami. Di Tasik, kami menginap di rumah mertuanya Pak Aripin. Perjalanan malam itu diakhiri dengan diskusi bersama Kang Usep dan Kang Alex tentang situasi di lokasi dan gambaran umum anak-anak yang akan terlibat dalam kegiatan besok. Akang-akang inilah yang menjadi pendamping warga di lokasi kegiatan. Catatan diskusinya, pertama, dari sisi lokasi, kami dipastikan akan berkunjung ke sebuah tempat di Cipatujah. Desa yang akan kami kunjungi merupakan wilayah yang relative baru berkembang. Tempat ini menjadi bagian dari wilayah dampingan Serikat Petani Pasundan. Artinya, bisa dipastikan mereka berada di wilayah konflik atau bekas konflik. Di desa tersebut tengah dibangun sekolah, karena sekolah terdekat yang difasilitasi pemerintah letaknya sekitar 10-20 km dari Desa. Bisa dibayangkan anak-anak harus menempuh jarak begitu jauh setiap hari untuk sekolah. Perintisan sekolah menjadi alternative yang tepat bagi mereka untuk mendekatkan akses anak-anak pada pelayanan pendidikan. Lokasi desa berada di puncak bukit. Jalan menuju ke sana tentu tidak beraspal dan lumayan curam. “Matak jantungan bu…” begitu komentar Kang Usep. Jalan itu hanya bisa dilalui motor dan colt bak terbuka! Saya mulai agak worry sekaligus penasaran. Kami akan menginap di rumah warga. Ini tentunya akan menjadi pengalaman yang luar biasa bagi anak-anak. Terutama bagi Zahra yang sangat jarang menginap di tempat lain. Anak-anak akan mendapat pengalaman langsung berada di desa.

Kedua, kegiatan bersama anak-anak akan diikuti pula oleh anak-anak dari SMP Darul Hikmah yang sudah dirintis terlebih dahulu oleh para guru SD Hikmah Teladan di bawah komando pak Aripin. Menurut analisis Kang Usep dan Kang Alex, anak-anak di lokasi tengah berada dalam dinamika social yang cukup membuat mereka bingung. Belakangan mereka kehilangan motivasi dan kreatifitas karena dukungan social bagi mereka melemah. Mereka butuh dukungan untuk membangkitkan kembali semangat dan kreativitasnya. Jelas ini kebutuhan yang kompleks yang tidak bisa dipenuhi dengan kegiatan sederhana yang direncanakan secara sepihak oleh saya dan anak-anak di Bandung. Harus ada revisi.

Kebutuhan revisi kegiatan saya sampaikan pada anak-anak. Zahra, Adry, Azmi, dan Vikri mulai merasa sedikit nervous, terutama setelah saya pancing mereka dengan pertanyaan, “ apa yang kalian share jika teman-teman di lokasi nanti bertanya tentang pola belajar kalian?”
Sontak semua tersentak karena ternyata sama-sama merasa tidak punya pola khusus. Bahkan nyaris ga pernah belajar secara khusus. Terlihat ada garis kecemasan pada anak-anak.
“Kita jawab apa ya… kan gak pernah belajar…!”
“Satu hal, jangan bohong dan jangan mematahkan semangat ya”, saya ingatkan kepada anak-anak. Semoga kegelisahan yang dirasakan anak-anak menjadi pelajaran pertama bagi mereka.

Malam itu saya tidur dalam gelisah karena telah melakukan kesalahan besar dengan membuat rencana kegiatan tanpa mempelajari dahulu kondisi dan kebutuhan klien, dalam hal ini anak-anak di lokasi pertemuan. Saya khawatir apa yang kami rencanakan bukan hanya tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka tetapi juga tidak tepat! Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Beberapa ide yang kemudian muncul bisa sedikit menenangkan. Saya tertidur dengan mimpi agak absurd. Mungkin benar juga komentar sahabat saya untuk tidak terlalu serius terhadap banyak hal… he..he…

8 Juli 2011
Terbangun pagi di tempat yang belum sepenuhnya dikenali memunculkan sensasi aneh. Tapi hanya sesaat. Kehangatan tuan rumah mengusir kejenggahan. Kang Usep dan Kang Alex sudah datang. Saya ditawari pak Aripin ikut dengan Kang Usep dan Kang Alex supaya bisa ngobrol lebih banyak. Eh anak-anak juga ikut. Akhirnya kami berangkat ke lokasi menggunakan mobil Kang Usep yang istimewa, Azmi menyebutnya Alphard tong tong. Tujuan kami adalah Taraju. Di mana lokasinya, entahlah. Saya pasrah ketika kami harus melewati jalan berkelok dengan tanjakan yang lumayan. Beberapa kali saya merasa ada yang aneh dengan mobil ini, tapi saya tekan perasaan itu. Kang Usep teman perjalanan yang seruu, selalu berupaya menciptakan keceriaan bagi anak-anak. Sayang usaha Kang Usep tidak berhasil. Anak-anak membisu di sepanjang perjalanan. Saya menduga mereka tegang membayangkan situasi nanti. Jalan berkelok dengan tikungan tajam juga memberi kontribusi besar pada kebisuan mereka. Beberapa kali dicoba main tebak-tebakan untuk mencairkan suasana, tapi tidak terlalu berhasil. Saya menyerah membiarkan anak-anak dalam kebisuan masing-masing.

Perjalanan Tasik-Taraju memakan waktu sekitar empat jam. Informasi awal rutenya bisa ditempuh dalam dua jam saja. Hmmm….mungkin dua jam itu ditempuh dengan kendaraan lain atau dua jam versi perjalanan ini harus dikali 2..he..he.. Tepat menjelang Dzuhur kami tiba di pantai Taraju. Pantai yang indah, masih belum terjamah sistem pariwisata yang kerap membuat alam tercerabut dari kondisi alamiahnya. Pantai memberikan energi baru bagi anak-anak juga kita semua. Setelah memarkirkan Alphard Tong-tong, kami berhamburan ke pinggir pantai. Belakangan saya baru tahu kalau mobil hebat ini memang bermasalah, remnya nyaris blong!

Melihat pantai, snak-anak kembali ceria. Kamera dipenuhi berbagai gaya mareka. Narsis abis seperti biasanya ha..ha…ha…. Ini ekspresi yang paling saya suka:
Pantai selalu mempunyai makna khusus buatku, pantai memberikan energy pembersihan. Ombak yang datang dengan kekuatannya akan membawa apapun yang singgah di tepi pantai untuk dibawa pada pusaran inti energi jauh di bawah laut. Di pantai Cipatujah ini, aku larungkan segala gelisah.

Ah, semoga benarlah adanya perjalanan ini akan menjadi pendakian spiritual seperti yang d isms-kan seorang sahabat lama di Tasik. Semoga pendakian ini akan berakhir pada kemurnian penyerahan diri hanya pada Allah. Panti, pasir, ombak, menjadi terlalu besar untuk resah yang ternyata tidak terlalu penting dipelihara. Dan pastinya Allah lebih besar lagi dari beban yang sejenak hadir pada hari-hariku belakangan ini. Perasaan lega diam-diam menyelinap.

Inilah Tim inti yang Jibaku Backpaking ke Desa Puncak Jaya di Cipatujah-Tasik.....

Next Trip on 13. 00, Pantai Cipatujah-Desa Puncak Jaya: Menuju Negeri di Atas Awan

Setelah selesai shalat Jum’at kami menuju Desa Puncak Jaya. Dari namanya kita bisa menduga posisinya memang ada di puncak bukit. Perjalanan menuju desa perlu perjuangan tersendiri. Kami naik colt back, satu-satunya angkutan yang bisa mencapai desa itu selain motor. Sangat-sangat dibutuhkan keterampilan khusus untuk menyusuri jalan menuju Desa Puncak Jaya. Jalur yang sempit, tanjakan hampir mencapai 45 derajat (mungkin ini perkiraan yang lebay saking curamnya..he..he…), belokan curam, jalan bergelombang, bahkan batu-batu penahan jalan kerap lepas, menambah tegang perjalanan.Lihat deh medannya di foto ini Saya betul-betul mengerahkan semua doa yang bisa diingat… herannya anak-anak justru semangat. Saya betul-betul panik ketika mobil berjalan tersendat dan sempat sedikit mundur di tanjakan. Pak sopir harus dipandu. Seseorang turun untuk memastikan ban tidak slip. Rasa lega tak terkira ketika mobil bisa berjalan kembali. Kecemasan menadaki jalan, berlalu dan kami mendapatkan hadiah yang luar biasa berupa pemandangan yang sangat indah. Laut seolah menjadi back drop raksasa yang melatari perjalanan kami ke puncak bukit. as colt bak yang kami tumpangi.

Perjalanan berakhir di depan sebuah rumah panggung di tengah halaman yang cukup luas. Pohon rambutan yang bernas berbuah menjadi hiasan menarik di antara tanah kering di sekitarnya. Rumah ini menjadi tempat istirahat yang pas setelah menempuh perjalanan yang menyeramkan. Warga di Desa Puncak Jaya sudah menunggu kami dan mempersiapkan kebutuhan kami, terutama konsumsi …... . Pa Aripin, Bu Hani dan Ali datang menyusul dan membawa berita terjatuh di tanjakan bawah. Motornya tidak bisa naik. Alhamdulillah tidak ada yang terluka. Ibu Hani salah satu jarinya bengkak, tetapi bisa di atasi. Yang ajaib, Ali, dia datang membawa keriangan tersendiri. Perjalanan yang rumit dan berbahaya ini sepertinya dianggap permainan saja. Hebaaat. Segera saja Ali menjadi pavorit boy buat Zahra dan saya tentunya…He is the real energizer! Here is Ali with the adorable smile...


15.00-18.00,
Kegiatan Pertama: Identifikasi Kebutuhan Dan Dinamika Kelompok

Anak-anak yang akan ikut kegiatan sharing menyusul tak lama setelah kami tiba. Adry, Azmi, Vikri dan Zahra masih merasa canggung dan nervous. Azmi yang agak gugup sempat menawar untuk tidak bicara pertama. Ha..ha..ha..tentu saja tidak ada yang mau bertukar tempat dengan Azmi. Kami brifing sekalli lagi dengan Kang Usep untuk memastikan tahapan kegiatan yang akan dilakukan juga untuk menyemangati Azmi. Intinya, kami akan mencoba mengidentifikasi kebutuhan topik yang akan didiskusikan, membangun dinamika kelompok, dan ekspresi bersama sebagai kesimpulan kegiatan. Semua akan dilakukan sambil bermain disela diskusi di antara anak-anak sendiri. Kang Usep sepakat.

Ada sekitar 30 anak laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam kegiatan ini. Rentang usia mereka cukup lebar antara 12 tahun sampai 18 tahun. Mulai dari anak-anak yang baru lulus SD hingga yang sudah lulus SMA. Ini menjadi tantangan tersendiri karena rentang perbedaan umur yang cukup lebar mempengaruhi dinamika kegitan. Saya mengambil keputusan untuk menggabungkan saja dulu semua anak, paling tidak di tahap perkenalan, kontrak belajar, dan identifikasi topik yang ingin didiskusikan. Kegiatan berikutnya merupakan eksplorasi pengalaman yang sangat luar biasa.... tapi nanti yaa....(bersambung )